Assalamualaikum Wr.Wb,
Saudaraku, pernah Rasululloh SAW menasehati sahabatnya Mu'adz bin Jabal r.a tentang keikhlasan dalam beramal, beliau berkata "Hai Mu'adz, sesungguhnya amalan yang ikhlas walaupun sedikit sudah mencukupi". Kata kunci dalam beramal adalah ikhlas, mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Kiat kita memeriksa amalan-amalan kita adalah periksa keikhlasan kita sebelum beramal, ketika beramal dan sesudah beramal. Selalu ucapkan istighfar dan Lahaula walaquwata ila billah ketika akan beramal dan tanamkan dalam hati kita keyakinan hanya kepada Allah SWT maka insyaAllah kita akan terhindar dari sifat ujub, riya dan takabur. Berikut ada kisah, semoga menjadi ikhtibar bagi kita semua :
Dua Tetes Air Mata
(copas dari millis
temen).
Alkisah Ahmad bin Miskin hidup dengan istri dan anaknya yang masih kecil.
Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Suatu
malam, setelah seharian tak secuil makanan masuk kedalam perutnya, hatinya
gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti perutnya yang keroncongan.
Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai, dan tak ada
harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari istrinya yang
lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul pemikiran
darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya.
Esok harinya, usai shalat
shubuh berjamaah dan berdoa, ia menemui sahabatnya Abdullah as-sayyad. “Wahai
Abdullah! Bisakah kau pinjamkan aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini.
Aku bermaskud menjual rumahku. Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad.
“Wahai Ahmad. . . ambillah bungkusan ini untuk keluargamu dan
pulanglah! Nanti aku akan menyusul kerumahmu membawakan semua kebutuhanmu itu,”
jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang kerumah sambil terus merenung untuk
menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya, sekadar
untuk makan. “Setelah itu, saya akan tinggal dimana,” renung Ahmad.
Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa bungkusan
makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya akan tertawa
lucu setelah memperoleh air susu. “ Terasa nikmat roti yang dibungkus ini
tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat sejatiku,” desah
Ahmad.
Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita
dengan bayi dalam gendongan menatap iba. “Tuan, berilah kami makanan. Sudah
beberapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan,
tolonglah. Semoga Allah swt. Merahmati tuan,” ratap ibu itu.
Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita itu.
Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas kasihan.
Sungguh melas, tak sanggup Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan
keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. “Biarlah aku akan
mencari makanan lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. “Ini ambillah bu. . .
aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya
yang lain mungkin aku akan membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil
menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya.
Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, “Terima kasih. .
.terima kasih tuan. Sungguh tuan telah menolong kami dan semoga Allah membalas
budi baik tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan menunduk
hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.
Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi
nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan
datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun.
Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia
berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.
“Wahai Ahmad kemana saja engkau,” tegur Abdullah
tersengal-sengal. “Aku mencarimu kesan-kemari. Aku datang kerumahmu membawakan
keperluanmu yang aku janjikan. Namun, ditengah perjalanan aku bertemu dengan
saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia
bilang ayahmu pernah memberi pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun
berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia akan
mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas
Abdullah. “Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak
perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.
Kaget bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya
Abdullah. Sungguh ia tak percaya dengan perkataannya itu.
“Benarkah Abdulah, benarkah?” tanya Ahmad ragu-ragu. Maka, ia
berlari seperti terbang, pulang kerumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang
kaya raya di kotanya.
Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya
Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab
oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang.
Wajahnya pucat. Berapa berat dosa yang dimilikinya. “Apakah amal kebaikan yang
dilakukan dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.
Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma
dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat karena harus
dipotong oleh kesombongan dan riya. Demikian seterusnya. Ternyata seluruh
amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia lakukan. Ahmad
menangis.
Para malaikat bertanya, “Masih adakah amal yang belum
ditimbang?” “Masih ada,” kata malaikat yang lain. “Masih ada, yakni dua amalan
baik lagi.”
Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada anak
yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. “Mana mungkin amalan itu dapat
menyeimbangkan dosa-dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk menimbang
roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung terangkat.
Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan ahmad tetap seimbang. Wajahnya
sedikti tenang. Ia gembira, sungguh diluar dugaannya.
“namun amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang,”
katanya dalam hati.
Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan
terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau
tetesan air mata ibu anak yatim dinilai dengan pahala untuknya. Ia bersyukur.
Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata
itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari
dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu
yang disetarakan dengan amalan baik Ahmad.
Ketika ikan menyentuh timbangan, meka seperti bobot yang sangat
berat, timbangan pun segera condong kearah kebaikan. “Dia selamat, dia
selamat,” terdengar teriakan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.
“Sekiranya aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak
adalah berat roti dan ikan itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya
itu yang telah menyelamatkan dirinya. Pada saat itu Ahmad terbangun dari mimpi.
Saudara-saudariku, sungguh amal yang ikhlas di tengah
kesempitan, bernilai tinggi di mata Allah swt.
Semoga kisah tersebut dapat membawa hikmah bagi kita semua,
aamiin…
Wassalamu’alaykum wr.wb.
Bambang S.
No comments:
Post a Comment