Follow Me

Friday, August 18, 2006

Renungan Hari Kemerdekaan RI

Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Wartawan dan Penulis Buku-buku Islam

KATANYA bangsa Indonesia sudah merdeka 61 tahun, dan biasanya di bulan Agustus ada perayaan kemerdekaan dengan hingar bingar di sana-sini. Perwakilan Indonesia di luar negeri pun merayakannya. Di balik perayaan dan hingar bingar itu, apakah sebenarnya bangsa Indonesia ini sudah merdeka? Merdeka yang mana?

Penjajahan secara serempak justru berlangsung dengan biaya yang sangat besar. Biaya penjajahan itupun dipikul oleh rakyat yang dijajah itu sendiri. Ini yang berlangsung. Aneh.

Untuk dijajah saja harus mengeluarkan dana kepada penjajahnya. Apakah di dunia ini sudah tidak ada penjajah yang “tulus ikhlas” menjajah dengan dana dari penjajah itu sendiri, kok harus didanai oleh manusia-manusia yang dijajah?

Dan kalau sebenarnya masih ada penjajah yang “tulus ikhlas” dengan modalnya sendiri, tapi yang menjajah bangsa Indonesia itu justru mendapat dana dari orang yang dijajah, itu berarti penjajahnya sangat canggih. Penjajah di atas penjajah. Menang dalam bersaing.

Belum tentu juga. Belum tentu, karena menang bersaing atau karena sangat canggih. Mungkin karena pihak yang dijajah sudah terlalu lelah, atau terlalu lengah, atau bahkan tidak merasa kalau dijajah. Bahkan penjajahnya pun mungkin tidak merasa kalau menjajah. Karena terlalu asyiknya dalam menikmati hasil jajahannya. Atau terlalu asyik dalam berebut jajahan.

Lebih canggih dari itu, ketika sikap munafik yang sudah sangat dibenci oleh Alloh swt ini justru menjadi sistem disuatu komunitas besar yang disebut negara, dan dioperasikan secara nasional oleh pemerintahan. Berarti merupakan pemerintahan munafik. Pada hakekatnya merusak secara fisik dan secara rohani, namun alasannya adalah membangun.

Aset-aset negara dijual, hutan-hutan digunduli, pajak ditinggikan, tetapi bagaimana caranya kalau untuk pabrik kelompoknya maka agar tidak terkena pajak, misalnya. Malah pernah ada menteri Orde Baru yang memasyarakatkan kondom (alat kontrasepsi) dari pabrik anak pejabat, upacaranya di departemen dan tenaga-tenaganya adalah pegawai negeri tetapi urusannya adalah kepentingan pabrik perorangan. Lalu menteri itu saya desak, kenapa dilakukan begini; lalu dia jawab, karena saya disuruh Pak Harto!

Pasar-pasar yang untuk masyarakat kecil dikikis agar diganti oleh pemodal-pemodal besar hingga pedagang kecil meringis; perkampungan-perkampungan yang masyarakatnya muslim taat lalu digusur dengan aneka cara, diganti dengan perkantoran-perkantoran pemodal besar yang di sana tidak ada lagi peribadahan. Kalau masih ada tempat sholatnya, maka ditaruh di ruang sempit dekat kakus di ujung tempat parkir. Ini penggusuran secara fisik sekaligus menghabisi umat.

Dengan aneka cara, madrasah-madrasah yang mengajari anak bangsa agar kenal Islam dibunuhi. Digalakkan lah SD-SD Inpres, dan punggawa desa lalu menakut-nakuti rakyat, supaya masuk ke SD-SD Inpres itu. Ketika madrasah-madrasah masih bisa berlangsung di sore hari, maka diadakanlah aturan dengan cara jam pelajaran diperpanjang sampai agak sore, atau diadakan les-les sore; agar murid-murid tidak bisa lagi sekolah madrasah sore.

Masih ada yang sekolah madrasah sore lagi, maka dipepetkan lagi, dengan cara tidak diadakan lagi guru-guru madrasah, dengan alasan, sekolah swasta harus mandiri. Jadi guru negeri hanya untuk sekolah negeri. Maka akhirnya sekian ribu madrasah swasta tidak ada gurunya, matilah madrasah-madrasah swasta se-Indonesia, kecuali yang hidup segan mati tak hendak. Sempurnalah perusakan bangsa secara fisik dan rohani dengan sistematis. Dan itu dengan biaya dari rakyat atau bangsa itu sendiri.

Itulah penyelenggaraan sistem munafik yang slogannya seakan agamis, dengan dasar sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, Itulah penjajahan yang sangat canggih: secara fisik dan rohani, masih pula atas biaya pihak yang djajah.

Jakarta, Rabu 15 Rajab 1427H/ 9 Agustus 2006.

Hartono Ahmad Jaiz

No comments: